
Saya mau mengulas ini dalam rangka bulan “Kesehatan Mental”, semoga semua yang membaca dan semua warga Indonesia tetap sehat mental dan tidak abai tentang kesehatan mental.
Kita mulai dari apa itu sebenarnya Kesehatan Mental?
Notosoedirjo dan Latipun (2005), mengatakan bahwa terdapat banyak cara dalam mendefinisikan kesehatan mental (mental hygiene) sebagai berikut:
Frank, L. K. (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2005)mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah orang yang
terus menerus tumbuh, berkembang dan matang dalam hidupnya, menerima tanggung jawab, menemukan penyesuaian
(tanpa membayar terlalu tinggi biayanya sendiri atau oleh masyarakat) dalam berpartisipasi dalam memelihara aturan
sosial dan tindakan dalam budayanya.
- Karena tidak mengalami gangguan mental
- Tidak jatuh sakit akibat stressor
- Sesuai dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungannya
- Tumbuh dan berkembang secara positif
Aspek Kesehatan Mental
Kartono (1989) menyatakan bahwa orang yang memiliki mental sehat ditandai dengan sifat-sifat khas, antara lain
mempunyai kemampuan-kemampuan untuk bertindak secara efisien, memiliki tujuan-tujuan
hidup yang jelas, punya konsep diri yang sehat, ada koordinasi antara segenap potensi dengan usaha-usahanya, memiliki regulasi-diri dan integrasi kepribadian, dan batinnya selalu tenang.
Orang yang sehat mentalnya menurut Marie Jahoda memiliki karakter utama sebagai berikut:
- Dapat mengenal dirinya dengan baik.
- Keseimbangan mental, kesatuan pandangan, dan tahan terhadap tekanan-tekanan yang terjadi
- Memiliki empati dan kepekaan sosial
- Mampu menguasai dan berintegrasi dengan lingkungan secara baik.
- Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik.
Permasalahan Kesehatan Mental
Masalah kesehatan mental adalah serangkaian kondisi yang berdampak pada kesehatan
mental. Ini adalah kondisi yang mengganggu suasana hati seseora, perilaku, pemikiran atau
cara seseorang berinteraksi dengan orang lain.
Prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental emosional secara nasional pada tahun 2013 sebesar enam persen (37.728 orang dari subjek yang dianalisis).
Fenomena bunuh diri di Indonesia meningkat pada kelompok masyarakat yang rentan terhadap sumber tekanan psikososial yaitu pengungsi, remaja, dan masyarakat sosial ekonomi rendah (World Health Organization, 2012)
Ada korelasi yang kuat antara penyakit medis kronis dan peningkatan prevalensi gangguan depresi. Orang-orang dengan riwayat penyalahgunaan alkohol dan atau obat-obatan juga rentan mengalami gangguan depresi.
Selanjutnya apa hubungannya Worf Life Balance dan Kesehatan Mental di Dunia Kerja?,
karena pengalaman saya selain sebagai Psikolog yaitu Praktisi HR yang pernah bekerja di beberapa Perusahaan juga sebelumnya ini menarik saya ulik karena di dunia kerja profesional terkadang kesehatan mental abai diperhatikan, yang cukup diperhatikan hanya kesehatan fisik saja, fisik sehat maka performa kerjaan akan baik korelasinya akan dinilai seperti itu, padahal kesehatan mental juga penting sekali untuk diperhatikan.
Jika terjadi masalah pada kesehatan fisik itu dapat berpengaruh ke kesehatan mental
begitu pula bisa sebaliknya.
Saya akan ulas “Work Life Balance (WLB) ini dengan sebuah berita kasus yang baru-baru ini mencuat di publik saya ambil sumbernya dari beberapa sosial media dan www.kompas.com yaitu mengenai seorang karyawan di Negara India tewas Kelelahan karena bekerja hingga larut malam
bahkan saat akhir pekan begitu headline beritanya, singkat cerita karyawan tersebut merupakan karyawan di sebuah firma akuntansi global terkemuka EY, Ia meninggal karena terlalu banyak bekerja di bulan keempat ia baru bergabung kerja, Ia yang diketahui bernama Anna mendapatkan beban kerja, lingkungan baru, dan jam kerja yang panjang yang membebani secara fisik, emosional dan mental, sebelum kejadian tragis yang merenggut nyawa
ternyata tim kerjanya di EY telah banyak yang mengundurkan diri dikarenakan beban kerja yang berlebihan. Menurut info dari orang tuanya Anna putrinya itu mengalami kecemasan,
kurang tidur, dan stress, tetapi masih terus berusaha keras untuk menyelesaikan pekerjaannya, secara fisik mengeluh sesak di dada dan tidak cukup tidur namun bersikerjas tetap bekerja
karena tidak mendapakatkan cuti dan banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, menurut ibunya Anna juga kerap mengerjakan tugas-tugas yang diberikan secara lisan di luar pekerjaan resmi, bekerja hingga larut malam, bahkan di akhir pekan, terus-menerus dibombardir dengan pesan yang meminta laporan lebih lanjut.
Ibu dari Anna itu mengungkapkan, putrinya baru saja memulai karier profesional, sehingga tidak memiliki pengalaman untuk menetapkan batasan dan menolak tuntutan pekerjaan yang tidak masuk akal. Dalam upayanya untuk membuktikan diri, kata ibunya, Anna akhirnya memaksakan diri hingga melampaui batasnya.
Ibunya berharap dapat melindungi putrinya, memberi tahu dia, kesehatan dan kesejahteraannya lebih penting daripada apa pun.
Namun, sudah terlambat bagi Anna,” ujar ibunya.
Tapi harap saya tidak terlambat untuk Anna lainnya dan yang membaca tulisan ini.
Kasus Anna ini terjadi karena tidak adanya work life balance sehingga menyebabkan masalah fisik, emosional, hingga mental bahkan parahnya menyebabkan kematian.
Jadi Work-Life Balance itu adalah berhubungan dengan adanya kesesuaian antara waktu dan usaha dalam bekerja dan menjalani berbagai aktivitas diluar pekerjaan untuk mencapai kehidupan yang harmonis (Clark, 2000).
Definisi tersebut masih cukup luas, sehingga Fisher (2001) memberikan definisi worklife balance sebagai upaya yang dilakukan oleh individu untuk menyeimbangkan dua peran atau lebih yang dijalani terkait dengan waktu, energi, pencapaian tujuan dan tekanan. Berdasarkan penjelasan dan definisi work-life balance tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa work-life balance merupakan kemampuan individu untuk menyeimbangkan komponen waktu, energi dan tekanan dalam domain lingkungan pekerjaan dan kehidupan pribadi serta bermasyarakat yang
mencakup hobi, studi, olahraga dan volunteerism/ sukarelawan.
Work Life Balance ini bisa jadi tidak dapat terjadi karena kondisi lingkungan pekerjaan yang tidak mendukung seperti yang dialami oleh Anna yang bekerja di EY.
Kita coba lihat apa saja faktor yang mempengaruhi kesehatan mental.
Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental
Kesehatan mental dipengaruhi oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Yang termasuk faktor internal adalah faktor biologis dan psikologis. Faktor eksternal yang mempengaruhi kesehatan mental yaitu sosial budaya.
Faktor Biologis
Otak, sistem endokrin, genetika, sensori, dan kondisi ibu selama kehamilan.
Faktor Psikologis
Pengalaman awal, proses pembelajaran, dan kebutuhan (Muhyani, 2012)
Faktor Sosial Budaya
Stratifikasi Sosial, Interaksi Sosial, Keluarga , Sekolah.
Faktor Lainnya
Otonomi dan kemandirian, Memaksimalkan potensi diri, Menoleransi ketidakpastian
hidup, Harga diri, Menguasai lingkungan, Orientasi realitas, dan manajemen stress.
Kalau melihat kasus yang terjadi dengan Anna di EY bisa jadi dia dipengaruhi oleh faktor sosial budaya di tempat kerjanya, selain itu juga faktor lainnya seperti dia kurang menguasai lingkungan karena karyawan baru bekerja baru 4 bulan masih adaptasi dan ingin mencari pengalaman jadi dilematisnya tidak bisa menolak pekerjaan di luar jam kerja, dan tidak bisa memanage stress yang ditimbulkan oleh tumpukan pekerjaan.
Jadi inilah kembali pentingnya Work Life Balance dan Kesehatan Mental di Dunia Kerja.
Sebelum hal ini terjadi pada Anda atau siapapun yang berada di lingkungan terdekat Anda, gunakanlah Upaya / Tindakan Preventif ini
Terhadap Kesehatan Mental pada Level Community :
- Memberdayakan individu
- Membangun strategi kesehatan jiwa
- Memberikan bantuan psikologis dalam masyarakat
- Membangun sumber dukungan dalam masyarakat.
- Memungkinkan adanya perilaku saling menghargai
- Sikap saling menghormati dan toleransi

Mari sharing, caring, dan emphatizing!
Jika perlu dukungan profesional untuk konsultasi silakan bisa hubungi Psikolog terdekat dengan Anda.