
Mendaki gunung bukan sekadar menaklukkan ketinggian alam, tetapi juga menaklukkan diri sendiri. Dalam setiap langkah kaki perempuan yang menapaki jalur menanjak, terselip kisah tentang kekuatan yang lahir dari kelembutan, dan keberanian yang tumbuh dari kesunyian. Gunung menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang yang ditempuh dengan hati, bukan hanya otot.
Perempuan di puncak bukan hanya tentang sosok yang berhasil menaklukkan medan terjal, tetapi tentang jiwa yang bertahan menghadapi badai, baik dari luar maupun dari dalam diri. Ia mendaki dengan membawa beban yang tak kasat mata—ekspektasi, stereotip, dan keraguan—namun tak satu pun mampu meruntuhkan semangatnya. Setiap langkahnya adalah perlawanan terhadap batas-batas yang pernah dipasang dunia terhadap dirinya.
Pengalaman kemarin mengikuti event mendaki dengan judul “women in adventure” oleh salah satu brand produk outdoor Indonesia dalam rangka Hari Kartini, dari temanya sudah jelas ya semua pesertanya adalah perempuan dan saya terheran-heran setelah di lokasi ternyata pesertanya cukup banyak hampir 70-an peserta. Flashback jaman dulu pertama saya mendaki gunung lupa tepatnya namun kisaran tahun 2007-an waktu itu tentu saja naik gunung didominasi oleh gender laki-laki. Melihat saat ini banyak sekali pendaki perempuan dan di moment event Hari Kartini kemarin juga ada salah satu ibu yang membawa putrinya, wow sangat menarik ya, sebenarnya ingin saya wawancarai satu per satu apa sih motivasi mereka naik gunung, namun karena waktu terbatas dan menghadapi cuaca yang kurang bersahabat. Pengalaman naik gunung dengan banyak orang merupakan pertama kali bagiku, ada beberapa peserta yang memang moment itu adalah pertama kalinya mereka mendaki. Melihat dari usia yang kutangkap ada dari berbagai usia dan profesi, dari tim kelompok saya juga ada dari berbagai lokasi, profesi, dan ada juga yang masih sekolah.
Gunung seringkali dianggap lebih dari sekadar bentang alam. Dalam konteks psikologis, gunung dapat menjadi simbol perjalanan batin, tantangan hidup, serta pencarian jati diri. Mendaki gunung ibarat menapaki perjalanan ke dalam diri sendiri, menghadapi ketakutan, keterbatasan, dan harapan yang tersembunyi di dalam jiwa.
- Perjalanan Mendaki = Proses Perkembangan Diri
Proses mendaki gunung membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan keberanian—sama halnya dengan perjalanan menuju pemahaman diri. Setiap langkah menanjak mencerminkan usaha mengatasi rintangan mental, trauma masa lalu, atau kegelisahan batin. - Puncak Gunung = Tujuan atau Aktualisasi Diri
Puncak gunung merepresentasikan impian, harapan, atau pencapaian tertinggi seseorang dalam hidup. Namun, sebagaimana dalam kehidupan nyata, perjalanan ke puncak tidak selalu mudah dan penuh tantangan. Ini menunjukkan bahwa pencapaian pribadi memerlukan proses dan perjuangan yang tidak sebentar. - Kabut dan Cuaca Buruk = Kekacauan Emosional
Saat cuaca memburuk di gunung, pendaki kehilangan arah dan motivasi. Begitu pula saat seseorang mengalami kecemasan, depresi, atau konflik batin. Gunung menjadi cermin dari ketidakpastian dan kegamangan yang dirasakan dalam jiwa manusia. - Hening di Puncak = Kedamaian Batin
Ketika seseorang berhasil mencapai puncak gunung dan merasakan keheningan di atas awan, itu menggambarkan momen kontemplatif, kelegaan, dan pemahaman yang dalam akan makna hidup. Gunung menjadi ruang refleksi untuk menenangkan pikiran dan menyatu dengan alam dan diri sendiri. - Turun dari Gunung = Kembali ke Realitas dengan Perspektif Baru
Setelah perjalanan mendaki, proses menuruni gunung menunjukkan kesiapan untuk kembali ke kehidupan sehari-hari dengan pemahaman dan kekuatan baru. Gunung, dalam hal ini, menjadi sarana untuk pembaruan psikologis dan emosional.
Sedikit ngobrol dari temen satu tim dan juga info saat bincang-bincang dengan pendukung acara salah satu host acara petualang yang cukup hitz yang saat ini Ia sudah menjadi istri dan sudah menjadi ibu namun hasrat petualangannya dan cintanya ke alam itu tidak hilang didukung oleh suami dan keluarga juga hal ini sesuai konteks di atas yaitu bagi dia mendaki gunung itu sebagai kedamaian batin, merefleksikan pikiran, ketika turun dan berkutat dengan pekerjaan rumah tangga lagi secara psikologis happy maka itu kegiatan naik gunung selalu didukung oleh keluarga.
Pengalaman pribadi ketika turun kami menghadapi cuaca yang sangat buruk, hujan deras dan petir, ditengah perjalanan juga melihat ada teman pendaki yang collaps dan dibawa oleh tim SAR, secara psikologis hampir membuat kekacauan emosional, apakah aku bisa apakah aku kuat sampai turun ke basecamp, namun tentu saja pikiran dan perasaan itu segera saya hilangkan karena motivasi yang paling kuat adalah dalam diri dengan iringan doa dan semangat dan keyakinan bisa maka akhirnya bisa dan selamat turun.
Begitu sharing dari saya terkait pengalaman terbaru kemarin naik gunung di daerah Jawa Timur, ada berbagai pengalaman psikologis yang dialami teman, dan saya sendiri, benar memang turun dari gunung itu kembali ke realitas dan perspektif baru, kembali ke realitas yang bekerja harus kembali ke rutinitas kerjaan, perspektif baru dengan melihat pengalaman sepanjang perjalanan ke puncak dan turun, mendapatkan teman baru dengan berbagai karakter, hal ini lah yang membuat perempuan terlihat lemah lembut, namun secara psikologis perempuan jika motivasi diri hadir maka ketangguhan itu akan muncul, selamat mencoba naik gunung bagi perempuan yang menyukai alam dan kegiatan outdoor, pasti akan lanjut ketagihan, namun tetap diperhatikan safety ya.
